KAU BUKA PINTU

 

 

 

 

 

 

KAU BUKA PINTU

Oleh : Alex Putra Siosar

Masih seperti dulu

Dedaunan kering menyembunyikan wajahmu

Bermuram merindukan cinta

Merunduk, menatap tanah memerah senja

Lirih membiru

 

Siang gerah, risau

Kulihat hanya bayangbayangmu

Terbaring di rerumputan haus hujan, genting

Melukis duri melengkung

 

Aku berdiam, bukan hilang meramu madu

Hati patah melihat dirimu kemarin membuka pintu

Saat kumengejar mimpimimpi

Sampai kembali kecewa asa, menepi

Melipat cinta

 

Rinduku…

selalu untuk hatimu

Mencari anakanak telah pergi melaut

 

Tepi penantian, 2011

HATI YANG MENEPI

Dua hari menjelang lebaran, kampung tampak mulai ramai oleh orang-orang mudik. Ada canda ria, berbagi pengalaman, maupun tangis rindu menghias gebyar rasa tanah berjejak. Kampung berdendang ceria melipat sepi, merona lentera rembulan dan bintang-bintang. Hati tertaut bahagia dalam Idul Fitri.

Di sudut kampung, sebuah rumah tua berkerut pohon lapuk, menepi sendiri perempuan senja. Wajahnya lesu. Rumahnya tak ada mudik. Dan dari dapurnya mengepul asap ubi rebus. Gerakan tubuhnya lemah, seolah patah tulang putus urat. Ia merasa ngeri mendengar nyanyian burung gagak menancapkan kuku pada dahan lapuk.

Mendengar suara ramai di luar rumah, menggiringnya untuk mengenang pada masa halaman kampung sunyi. Kampung yang dulu hanya beberapa keluarga menancap patok tanda batas wilayah. Rumah-rumah masih terhitung dengan jemari. Tak ada knalpot menderu, asapnya mengepul menendang-nendang lubang hidung. Kokokan ayam pun masih jarang memecah senyap. Dan hanya lentera bambu menerangi kegelapan malam.

Dulu ia memegang peran penting dalam pertumbuhan penduduk di kampung itu, sama rasa orang-orang berpandang pada pengetua adat atau kepala kampung. Para istri pun mengandung akan  merasa resah setengah mati, bila tak ada dukun bayi di kampung. Mendadak melahirkan tak tahu ke mana harus mencari pertolongan. Takutlah mati ibu dan anak dalam rahim.

Banyak juga ucapan terimakasih datang ke rumahnya, seperti kiriman parcel di kota. Ada masakan rendang lembu, ayam, buah-buahan atau sayur-sayuran. Melimpah. Tak jarang juga berbagi kepada sebelah rumah.

Dukun bayi itu tak pernah gagal membuat istri-istri melahirkan. Pepatah : sepandai-pandainya tupai melompat, sesekali pasti jatuh jua, taklah berlaku padanya. Dengan cekatan, lengan dan jemarinya yang lembut meneriakkan garing tangis bayi untuk pertama sekali merasakan alam dunia. Dan bayi melepas tangis yang meliuk-liuk bertikung dan lurus menelusuri ruang kampung, seolah tangis bahagia dipisahkan dari rahim ibunya. Bayi itu pun tersenyum padanya, mengucapkan terimakasih.

Namun, banyak juga membungkuk dengan seribu kata memohon pada dukun bayi, Bu Sadariah. Ada saja yang tidak mengkehendaki kelahiran bayinya. Tapi, dengan seribu alasan apa pun mencuri iba hati, Bu Sadariah tetap teguh dalam pendirian; berpantang angin mengguncang-guncang dan menelan ludah sendiri. Ia akan berancak-ancak pinggang, merah muka menyuruh pergi orang yang ingin menggugurkan bayinya dalam kandungan.

“Saya bukan pembunuh,” kata Bu Sadariah.

Namun, sejak kepala kampung mendirikan klinik desa peran Bu Sadariah sebagai dukun bayi perlahan-lahan merosot. Lentera beranda kampung mulai beralih. Orang-orang di kampung itu, satu persatu meninggalkannya. Penyuluhan pembangunan desa meredupkan lentera jemarinya.  Pemikiran tradisionil masyarakat mulai berkembang ke medis.

Di klinik desa mereka mendapatkan alat kontrasepsi gratis. Baik dalam bentuk kondom maupun pil. Masyarakat Sidodadi pun sudah mengenal keluarga berencana. Mitos banyak anak banyak rejeki mulai mereka tinggalkan. Orang-orang di kampung itu kini hanya memiliki anak paling banyak lima orang. Tidak lagi seperti dulu, sampai dengan dua belas orang.

Hati berperih luka pun silih berganti datang. Suaminya meninggal dua tahu lalu. Ia sangat terpukul. Hidupnya tercengung dalam remang yang menepi. Hati kemarau, sepi. Tak ada nyanyian burung-burung bercanda. Bunga-bunga merunduk. Pucuk-pucuk hati melambai merebah. Tangan memeluk bumi. Hanya sisa-sisa dalam pundi, menguatkan kakinya melangkah.

Di dalam rumah itu, ia hanya tinggal sendiri. Tak ada anak dan famili dalam berteduh. Keluh nafas mendesah tak henti menunggu hari. Hanya ada asa, pantang terkapar melangkahi kuasaNya. Bu Sadariah, tampaknya menanti rembulan menjaring jejak. Hanya bibir kuncup dan melengkung dengan senyum lirih, ia menatap jalan di depannya.

Dari ruangan depan, ada suara memanggil-manggilnya. Suara itu lembut berayun-ayun.

“Nek..Nenek…!”

Dengan tertatih-tatih, Bu Sadariah melangkahkan kakinya mendekati suara itu. Ia melihat seorang perempuan muda bersama seorang anak kecil yang menunjukkan rumah Bu Sadariah. Lalu, anak itu pergi meninggalkan mereka. Perempuan muda itu tampak melepas senyum. Manis sekali.

“Boleh saya masuk, Nek ?”

Bu Sadariah hanya mengangguk. Anggukannya tampak lemah. Leher, seolah tak kuat lagi menopang kepala dan rambut yang panjang beruban. Matanya pun tak tajam seperti dulu yang penuh percaya diri.

“Maaf, Nek. Saya mengganggu.”

“Tidak. Tidak apa-apa.”

Perempuan muda itu kembali terlihat tersenyum, sambil mengulurkan tangannya.

“Nama saya Leila, Nek.”

“Kamu bidan desa itu, ya ?”

“Bukan, Nek. Tapi, saya memang dokter. Boleh saya masuk, Nek ?”

“Oh, ya. Silahkan. Masuklah.”

Mereka pun melangkahkan kaki, dan duduk di kursi bambu yang tampak berdebu. Leila tidak membersihkan kursi bambu itu. Ia langsung saja duduk. Tidak baik dilihat Bu Sadariah takut pakaian kotor, karena debu di kursi bambunya.

“Maaf, Nak. Rumah ini kotor sekali. Sebentar ya, saya ambilkan dulu kain lap.”

“Tidak usah, Nek.”

“Nanti pakaian kamu yang cantik itu kotor, karena debu-debu di kursi nenek.”

“Tidak, Nek. Tidak apa-apa,” kata Leila sambil melemparkan senyumnya.

Sejenak mereka pun tampak membisu. Bola mata Leila menggelinding memandangi ruangan rumah Bu Sadariah. Kecut juga hatinya. Sarang laba-laba tampak bergantungan di sudut dinding-dinding. Debu pun menempel merubah warna dan suasana rumah itu.

“Kamu datang mau menggugurkan, ya ?” kata Bu Sadariah membuyarkan lamunan Leila.

Leila tersenyum.

“Maaf, Nak. Dari dulu saya tidak mau dengan pekerjaan itu, “ kata Bu Sadariah lagi.

“Nek, saya ke sini atas saran ibu saya.”

“Ibu kamu siapa ?”

Leila beranjak dari duduknya. Ia melangkahkan kakinya mendekati Bu Sadariah, dan duduk di sampingnya. Ia tampak akrab dengan Bu Sadariah.

“Ibu saya Nuraini, Nek.”

Mendengar nama itu, Bu Sadariah mencoba mengingat-ngingatnya. Sedalam ingatannya menelusuri waktu bergulir berlalu, ia tetap saja tak mengingatnya. Dahinya mengerut. Akhirnya, ia mengalah.

“Saya tak ingat nama itu, Nak.”

“Kalau dengan Pak Nurdin ?”

“Nurdin yang rumahnya di samping kantor kepala kampung ?”

Leila mengangguk.

“Nurdin yang anak perempuannya dulu mau menggugurkan janinnya ?”

Leila mengangguk lagi, dan tersenyum.

“Kamu apanya ?”

“Nek, sayalah janin yang mau digugurkan ibu.”

Mendengar itu, Bu Sadariah terkejut. Ia seakan tak percaya. Sekilas peristiwa itu melintas di matanya. Ia pun tak henti-hentinya memandangi wajah Leila.

“Kalau dulu nenek tidak menolak permintaan ibu, saya tidak akan hidup, Nek,” kata Leila lagi.

Wajah Bu Sadariah pun, sekejap tampak merona bangga. Jiwanya menjadi mekar. Ada embun di kuncup bunga hatinya. Ia ingin menangis, karena sudah lama tak pernah dikunjungi oleh seseorang. Batinnya melambung tak mampu menahan luapan kesepiannya. Matanya mulai terlihat berkaca-kaca.

Sepi menekan jiwanya yang merapat senja.Hitamnya malam menyelimuti tubuhnya yang semakin dingin. Tak ada kunang-kunang menari, karena rintik hujan. Tak ada alunan garing jangkrik memecah kesunyian. Kerabat jauh melambaikan tangan. Tambatan hati telah mengepakkan sayapnya ke taman teduh, jauh berada.

Rembulan itu menyelinap hatinya, membangunkannya dari pembaringan berkasur lembab. Mengajaknya berbicara, dan membuka kenangan yang memekarkan pucuk-pucuk bunga di taman hati. Terang bulan menembus dinding-dinding papan rumahnya. Membekas bayang-bayang lama.

“Saya ingat, ketika Nurdin memaksa ibumu untuk menggugurkan janinnya, kurang lebih dua puluh tujuh tahun lalu. Kakekmu tidak setuju dengan hubungan Nuraini bersama Arman, pacarnya. Usia ayah dan ibumu, ketika itu masih enam belas tahun.”

Leila tampak tertekun mendengar cerita Bu Sadariah.

“Tapi, saya melarangnya. Dan ibumu kawin lari. Sampai sekarang orang kampung tak tahu keberadaan mereka.”

Bu Sadariah menjelaskannya dengan semangat. Sudah lama ia merapat bibir, lesu lidah melontarkan kata. Kata-katanya melipat kelu, mengalirkan riak air bening ke hilir hatinya. Pintu dan jendela terbuka membawa angin memenuhi ruangan yang sembab.

Cerita Bu Sadariah sama dengan yang didengarnya dari ibunya, tentang kisah perjalanan cinta yang terlarang, sehingga harus meninggalkan kampung. Dengan terseok-seok, pantang menyerah, malu mundur, Nuraini bersama suaminya merayap cecak di dinding melewati getirnya kehidupan, hingga bebatuan membuat kaki keras bertapak.

Untuk memperbaiki cinta terlarang ibu dan ayahnya inilah, Leila mudik ke Desa Sidodadi. Ia ingin bersilahturahmi dengan keluarga ayah dan ibunya yang satu kampung. Meminta maaf atas kesalahan ayah dan ibunya selama ini.

Sebenarnya, ibunya tak mengijinkan Leila mudik, karena ia sudah merasa tak punya sanak saudara lagi di kampung halaman. Kisah cintanya dengan Arman yang membuatnya mendayung sampan ke tengah lautan menghantarnya terkucil dan terusir.Sampai lebaran ini, ia merasa lebih baik tak dikenang oleh siapa pun. Orang-orang akan menertawai perahunya oleng oleh nahkoda tak pandai memutar kemudi layar. Sampai terkapar pada karang.

Tak elok mengeras hati, rasa beku cair oleh kasih, Leila menggugah ibunya. Ia tetap punya hati untuk melepas rindu akan keluarga di kampung halaman. Hanya ibunya berpesan, terlebih dahulu bertemu dengan Bu Sadariah. Bercakap-cakap bersama Bu Sadariah mencari petunjuk menyiapkan langkah kaki bertemu dengan sanak saudara, agar enak hati berpulang ke kota.

***

     Hari ketiga Lebaran, rumah Bu Sadariah sudah tampak bersih. Tak ada sarang laba-laba yang menggantung, mengejek. Kursi bambunya pun tak berdebu seperti hari kemarin. Ruangan rumah itu tak lagi terhimpit hidung menarik nafas. Dada terasa lapang jauh dari sesak. Langit-langit dan lantai rumah elok dipandang, mata berbinar. Kemarin, Leila bersama anak-anak paman dan bibinya bergotong royong membersihkan rumah Bu Sadariah.

“Ya, Allah. Masih ada yang peduli padaku,” bisik Bu Sadariah sambil menahan air matanya. Hatinya terharu.

Sebelum Leila kembali ke Jakarta, ia mengadakan acara makan bersama di rumah Bu Sadariah. Bu Sadariah pun menyambutnya dengan gembira. Sanak saudara dari ayah dan ibu Leila diundang. Dan mereka pun menyembelih kambing. Kini, dapur rumah Bu sadariah tercium masakan rendang kambing.

Keluarga besar Leila pun tampak damai dan bahagia. Ada senyum, canda dan tawa. Air mata rindu berpulang saudara melukis langit berlentera rembulan yang diapit bintang-bintang berkerlap-kerlip di beranda hati.

Tampak paman Leila mendekatinya.

“Sebelum kakekmu meninggal, ia selalu memanggil-manggil Nuraini. Ayah menyesal telah mengusir ibumu dari kampung. Berulang kali ia mencari ibumu, tapi tak pernah membuahkan hasil,” lirih Kharta, paman Leila.

Leila menelpon ibunya di Jakarta. Lalu, rindu itu pun meletup, melepas seribu kata. Isak tangis muncrat, berkelebat menembus dinding-dinding, pepohonan, dedaunan dan melewati tebing-tebing. Bertahun-tahun hilang, sesal, dan asa, mohon bermaaf-maafan dalam Idul Fitri. Lengkung langit kampung merona pelangi, merintik haru.

***

Dua tahun waktu sudah berlalu. Waktu melipat tahunnya. Selama waktu itu, Bu Sadariah tinggal bersama keluarga Leila. Leila sudah menganggap Bu Sadariah sebagai neneknya sendiri. Dan selama tinggal di Jakarta, tampaknya Bu Sadariah semakin segar. Sepi mengkerut tak tampak lagi di wajahnya yang membuat letih mengiris tubuhnya. Nuraini adalah temannya yang selalu berbagi cerita, seolah ibu dengan anaknya.

***

Tiba-tiba air ketuban Leila pecah. Ia mau melahirkan. Tak sempat dibawa ke rumah sakit. Suami Leila pun tampak resah. Ia meragukan akan keselamatan istri dan anaknya. Berulangkali mertuanya, Nuraini, meneguhkan hatinya. Tapi, tetap saja kakinya berputar-putar, mondar-mandir seperempat gasing di depan pintu kamar. Rasanya konyol dengan pemikiran dan keputusan Leila, menyerahkan persalinannya kepada Bu Sadariah yang sudah berumur kurang lebih tujuh puluh satu tahun, mantan dukun bayi kampung itu.

Lalu, dari kamar terdengar tangis bayi melengking. Garing. Tangisnya menyentak hati. Mendengar tangis itu, suami Leila segera menerobos pintu. Masuk ke dalam kamar. Ia melihat bayi laki-laki mungil, sehat terpancar mentari, berbaring manja di kedua lengan Bu Sadariah.

“Oh… terimakasih, Nek,” kata Andre, suami Leila, sambil mencium kening Bu Sadariah.

Bu Sadariah tersenyum. Matanya memancar jernih dengan senjanya tak berkedip memandang Leila yang masih lemah terbaring. Kedua bola mata mereka bergandengan membelai bayi yang ingin melihat dunia dari tangan lembut dan hati yang bening. Senja melipat gerahnya siang, rembulan membentang selendang dalam tarian gurun berdanau putih. Nyanyian senja membaringkan embun dalam dedaunan hijau bertangkai kasih.

 

Medan, awal September 2011


LUKA RINDU

 

 

 

 

 

 

Rindu kurasa kau biarkan berpeluh kelu

Mimpi kemarin melambung pergi tak menolehkan hati

Bersama gelombang bening air sungai mengalun merdu

Perlahan, mengiring semilir angin sepoi

Hingga, aku merayap menggapai senja mengembang perih, menepi

Seandainya kau menitip setetes embun di daun hati ini

Cukuplah kumemahami

Bayanganmu hanya menemaniku

Menyiksa raga berkalikali pada bongkahan batu di kali

Mengenang jalanmu pergi

Bahwa, aku tak bisa melupakanmu

 

RINDU, 2011

ODONG ODONG

oleh: Alex Putra Siosar pada 12 Juli 2011 jam 8:20

 

 

 

 

 

 

Malam minggu datang, seperti kemarin, kemarin, kemarin lagi

si odong odong, mobil tua warna  warni, melukis ceria

dengan bang supir gondrong, bunyikan klakson

menyentak, rindu berkelana

para bocah, ibu-ibu

dari lorong lorong

berjejak lusuh

Tak bersisa tempat duduk, raut gembira odong odong

melaju santai menikmati malam terang bulan

menembus kerlap kerlip lampu, jalanan

jalanan berterompet pekik

dan bertaburan asap

asap knalpot racing

Laju si odong odong seperti air mengalir, air paret

disalip, dijepit, tak terhimpit, tak mengguling

bang gondrong pun tersenyum lebar

tak lupa menjulurkan lidah badut

Tawa, bibir tak kaku bergetar

hati, berasa tak berpeluh

wajah, purnama

mata, berbinar

suara riuh bernyanyi, berputar keliling-keliling, mengembara

dibawa si odong-odong mobil tua, pangeran lorong lorong berjejak lusuh

Medan, 10 Juli 2011

Kemarin aku naik odong-odong

MENJAGA BUMI

oleh Alex Putra Siosar pada 19 Juli 2011 jam 13:53

Matahari, bukan pergi tidur semalaman

mencari mimpi bercinta selimutkan selendang sutera

bukan pula sirna diterpa angin puting beliung

Matahari tetap di sini, di poros tengah

bumi dan planet planet tetap berputar-putar mengelilinginya

tak berontak sebagai kuasaNYA

Rembulan bercermin pijar matahari

menutup pintu bola mata menggelinding

melepas burung burung hantu, kunang kunang, jangkrik

dari sarang, berasa pandang hitam berpancar cahaya

pohon pohon pun mendengus nafas karbon dioksida

masih dalam koridorNYA

Hewan, tumbuhan, tanah, udara, langit, hujan,

panas, dingin

masih seperti dulu, ketukan klasik

menjaga bumi

Berhampuran kini, nyanyian, puisi cinta

menjaga bumi

masih serupa hatiNYA ?

Terdengar talu talu gendang berhiruk pikuk bersama alunan udara

menggetarkan segala rupa tertancap di bumi

bumi pun menari tarian aerobik

dancer diet dihentak paceklik lumbung erosi

bumi terjaga !

orang orang berebut kuasa menjaga bumi. Menjaga bumi………..

2011

KEBAHAGIANKU

oleh Alex Putra Siosar pada 09 Agustus 2011 jam 17:32

 

Seperti semalam, kucari lelaki hidung belang

dalam remang riang genderang

penuh kata; canda girang

mabuk kepayang

 

Pagi pun berbisik menggala, pulang

kaki pun mengayuh, pulang

mata berkunang kunang

Wek…! Wak…! Wek…! ku

muntahkan semua kebahagianku

seisi rumah mencium mawar merah berduri.

 

Tarianku di langit malam, entah kapan tersentuh mentari

Putri semata wayang ibu, elok rupa

menghapus muntah kebahagianku

kebahagianku yang tergenang sengkarut di lantai

dengan, perca basah oleh air dari muara matanya yang mengering

 

Kunang kunang Cleopatra 2011

CEMBURUKU

Di halaman rumah berdinding tepas, tampak dua bocah sedang bermain. Riang sekali. Wajah mereka seribu bintang. Tawanya lepas, tak terkekang menelusuri pepohonan. Menyapa dedaunan. Matanya pun berbinar. Kaki, tangan maupun tubuhnya, lincah seperti tupai.

Dalam kurungan bambu, terdengar ayam berkokok garing, turut gembira. Kepakan sayapnya gagah mengipas angin. Debu tersapu, melayang.

Langit pun merona, bercanda bersama awan memerah senja. Hembusan angin meliuk liuk, seolah menghapus keringat bocah bocah itu.

Bapak bersama ibunya di beranda menambah indah sketsa kehidupan mereka. Bapak dengan tarikan rokok daunnya. Ibu dengan kunyahan daun sirihnya.

Aku tertekun. Terpaku. Renungku pada mereka. Kudengar gemericik sungai mengalir menendang batu batu. Bunyi ketukan tarian dedaunan yang bergesekan. Damai sekali. Mereka, seolah berlayar di samudera tak amuk gelombang. Tak ada topan. Keindahan itu pun kuabadikan dalam kamera. Aku terpana dari warung kopi seberang ini.

Kegalauanku kini melesat, hilang gentar dalam menapaki anak anak tangga mercu suar. Letihku terbalut, pemandangan sore ini.  Bibir yang memerah tak kusadari tersenyum kecil. Asap rokok pun mengepul, melingkar, melayang. Angin membawanya ke angkasa. Dadaku terasa lapang. Tak ada menghimpit, rasa terbuka.

Kupacu sepeda motor. Menderu. Meliuk liuk.  Rindu mendekap ceria melewati malam.

Panggilku :

“Ayah datang. Ananda, adinda….”

 

2011

INILAH IBUKU

oleh Alex Putra Siosar pada 16 Agustus 2011 jam 10:46

Ibuku begitu subur. Rahimnya menunaskan benih benih pada tanah berhumus. Rambutnya terurai berkilau, mengikat pulaupulau. Mata ibu, aduhai….Teduh. Lidah ibu, ribuan nyanyian burung. Lekukan tubuhnya membuat kaum lelaki berapi api memetik gitar dan melagu rayuan pulau kelapa. Dan, jari manis ibu melingkar cincin emas cinta. Cahayakan keibuan ibuku, bahana, bahari.

Abad berlalu. Malang bagi ibuku. Perampok dengan sepasukan berkuda, padamkan bahana. Bahari di keringkan. Buah dadanya di peras. Terkuras air susu ibu. Darahnya pun berceceran. Air matanya pun berlinang.

Dari ujung kaki sampai rambut kepala, perampok itu menjilati tubuh elok ibu. Ibuku di perkosa ! Langit pun bermega. Lalu, bergemuruh. Berguntur. Menangislah langit. Air mata langit memandikan tubuh ibu.

Sejarah mencatat

Ibuku senggugut, sengkarut, sengkak, sengsara

Catatan ibuku

masih senggugut, sengkarut, sengkak, sengsara

Abad ini, ibu tak pernah mengenal arti merdeka. Hanya, “Merdeka !!! Merdeka !!! Merdeka !!!”

 

Dirgahayu Indonesiaku !!!

INDONESIA RAYA

2011


KEPUTUSAN

Di balik jerjak jendela kamar, tampak wajah Rini bermuram. Lampu pijar 25 watt menerangi guratan di keningnya yang mengkerut. Kusut. Sorotan matanya setajam pisau silet menyayat. Bibirnya ranum merah delima tak ada senyum menyapa hati, tapi melengkung. Cemberut. Ia pun kelihatan kurang cantik. Dan di sisi tempat tidur, tampak suaminya tertunduk. Punggungnya yang kini mengurus, merunduk. Melengkung padi menguning. Tangannya meremas seprei. Rambutnya kelihatan semrawut tak bersisir. Mungkin, hanya mereka yang tidak bersenggama bersama mimpi-mimpi malam ini di kotanya. Malam hari yang merona asmara, terasa letih memikul besi ke atas bukit yang jalannya berkerikil dan penuh tikungan. Pun rasanya dikejar matahari yang gerah.

Rini dan suaminya lama berdiam. Bisu. Sesunyi malam yang penuh bintang-bintang dan rembulan yang melayang-layang di langit batas mata memandang. Dan sedingin embun yang terbaring di atas dedaunan merekat pada ranting-ranting pohon. Gemuruh hati mereka mengikat lidah meronta-ronta dalam ruang mulut. Bibir terkatup rapat. Degupan jantung yang begitu kencang terdengar menahan letupan emosi.

Di meja rias, tempat Rini biasa bercermin, tergeletak surat bank. Surat teguran lumbung uang yang kesembilan kalinya. Surat itu juga diam. Tergeletak. Kusam, karena berulang kali mata membaca berperih merah, serasa mimpi. Hanya huruf demi huruf yang membentuk kalimat mengguncang-guncang pikiran terpelanting. Otak terpenjara. Membuat Rini dan suaminya berpinalti. Tembak duabelas pas di dalam kamar bercahaya remang untuk membuat keputusan.

Surat itu membuat Rini ingin bercerai dengan suaminya, Hendrik. Berguguranlah bunga-bunga diapit dedaunan, karena patah dahan lama kemarau mengeringkan akar pohon. Kurang lebih tiga bulan ini, hampir tiap malam mereka bertengkar. Hati mereka berkecamuk. Pikiran sengkarut. Memang pihak bank pernah memberikan solusi bagi hutang mereka. Tapi, Rini menganggap itu hanya membuat mereka kembali berenang ke dalam lumpur. Malahan lebih tragis, lumpur hidup. Hendrik tidak jujur, bisik Rini dalam hati.

“Pendirianmu sudah tetap ?” kata Hendrik mencoba memecah kebisuan.

“Iya !.”

“Itu bukan solusinya.”

“Kamu cari sendiri jalan keluarnya. Aku sudah muak dengan alasan-alasanmu.”

“Rini ! Kamu lihatkan saya tidak main-main dengan hutang itu.”

“Apa ? Tidak main-main ? Hutang kita, kamu alaskan untuk mengembangkan usaha. Nyatanya ? Untuk membantu usaha bengkel adikmu, kan ? Sekarang ? Siapa yang mau membantumu ? Kita bercerai siapa yang peduli ?” suara dentuman ombak itu pun pecah mencekam bahtera mengarungi laut dihempas angin.

Hendrik terdiam. Terpaku. Dia melihat naga betina menyembur-nyemburkan bara api dari lorong-lorong lidahnya. Mata naga itu melotot ingin membelit, mencekik dan meremukkan tulang-tulangnya yang kian rapuh. Dan menculiknya dalam gua pengap yang riuh oleh suara kalelawar-kalelawar menjerit. Ia juga melihat laba-laba bergantungan. Laba-laba perlahan merayap mendekat mau menjilati kulit tubuhnya yang semakin mengkerut. Suara petir pun menendang-nendang dalam gua kering panas. Keringat bercucuran, memandikan tubuh  bergetar menahan diri; meredam dentuman meriam yang memekakkan telinga.

Surat teguran bank, usaha yang mulai bangkrut, dan gugatan cerai istrinya, bagaikan letusan gunung merapi yang meluluh lantakkan seluruh perkampungan. Jarum pentul pun terasa menusu-nusuk paru-parunya. Sesak. Terkepung dengungan tawon di jalan buntu. Ia tak tahu lagi harus ke mana melangkah kaki. Terjebak dalam kubangan berbau comberan.

Terlintas juga di matanya orang-orang stroke. Membayangkan itu, tangannya semakin gemetar. Keringat dingin semakin deras membasahi bajunya. Batinnya memberontak. Ia tak ingin mati tapi hidup, hidup tapi mati, terkapar dalam pembaringan atau berjalan seperti robot. Ia pun ingin berlari dalam cengkraman gorilla.

Lalu, jemarii tangan dan kakinya sesekali ia gerakkna.  Ia mengayun-ayunkan jemarinya. Ia ingin membuktikan, bahwa organ tubuhnya masih normal. Ia merasa lega. Yakinkan diri, meneguhkan jiwanya. Alat-alat tubuhnya masih sempurna.

Membayangkan orang-orang gila di jalanan, depresi, dan prustasi tak luput menghantuinya. “Tidak ! Tidak !” ronta Hendrik dalam hati. Ia berusaha keras menghilangkan kekalutan pikirannya yang terkurung oleh suara-suara tagihan hutangnya. Ia mencoba mengingat-ngingat masa kecilnya untuk menetralkan memorynya.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kamar sebelah yang memecahkan kebisuan mereka dalam seribu bahasa. Rini membalikan wajahnya dari pandangan luar jendela. Rini berlari kecil, menghampiri suara itu. Ia melihat anaknya mengigau. Dan ia memeluk putri semata wayangnya.

“Kamu bermimpi, Nak ?”

Perempuan kecil itu terisak. Sesekali ia menghusap matanya. Dan menangis di pelukan ibunya. Lengannya memeluk pinggang ibunya. Dan kepalanya berbaring di pangkuan ibunya. Cecak-cecak yang menempel di langit-langit kamar, sendu memandang mereka.

“Ibu….aku bermimpi.”

“Mimpi apa ?” kata Rini sambil membelai rambut anaknya yang terurai panjang.

“Aku bermimpi,Bu……”

“Iya. Mimpi apa?”

“Lia bermimpi, ibu dimakan harimau. Aku takut… Lia takut, Bu”

“Lia, itu hanya mimpi. Kamu lihat, ibu tidak dimakan harimaukan ?”

Lia terus terisak.

Malam itu, Rini tidur bersama anaknya. Dengan berbaring ke kiri, ia peluk anaknya. Jemarinya mengelus-elus kening dan pipi anaknya. Ia nyanyikan lagu-lagu kesayangan anaknya. Sampai anaknya tertidur kembali. Lia pun mendengkur kecil dengan lelap. Hangat sayap induk ayam menyembunyikan anaknya. Sesekali ia memandangi wajah anaknya yang mungil. Senyumnya pun lepas merasa terhibur. Sejenak ia bisa melepas beban terpikul berat di punggung menekuk dada.

Namun, Rini tidak bisa memejamkan mata. Kelopak matanya terdongkrak oleh amplop putih surat dari bank. Tapi, ia tak ingin kembali menghampiri suaminya di kamar mereka. Hanya suara detak jarum jam dinding yang tergantung di depannya, ia dengarkan. Tak jarang ia melirik jarum panjang dan pendek. Ingin rasanya jarum jam itu memacu putarannya. Membangunkan mentari di ufuk Timur.

Seiring dengan langkah detik jarum jam dinding, otaknya berjalan menelusuri rencana tak berjejak. Wajah ayah dan ibunya yang keriput terbentang di matanya. Bola mata Rini menggelinding menapaki alam desanya. Hamparan sawah membentang, gembala menunggang kerbau, dan wajah teman-temannya melukis selaput matanya. Menatap sketsa itu, kecut juga hatinya. Ia tak tega pada kesedihan orang tuanya melihat kepulangannya. Apalagi, ayahnya sekarang ini sering sakit. Dan ia merasa malu, bilamana nanti sahabatnya di desa bertanya tentang kepulangannya tanpa Hendrik.

Kebimbangan pun mulai merasuki hati Rini. Tapi, mengingat suaminya berhutang demi membantu adiknya yang tak bertanggung jawab, dan rumah mereka akan disita oleh bank, lebih menyakitkan hatinya. Memalukan, bisik Rini dalam hati.

Kekecewaannya pun menjalar menelusuri duri-duri di tengah rawa. Gajinya secukup makan siang dan malam terkuras untuk menambah tutupan kredit. Sering pula ia meminjam uang ke rentenir untuk asap mengepul di dapur. Akhirnya, hutang mereka menumpuk. Membukit. Dada berhujan batu.

Usaha Hendrik sejak dibuka tiga tahun lalu, memang terlihat maju pesat. Doorsmear mobil itu membuat mereka mampu membangun rumah sederhana. Namun, usaha itu tampaknya tak lama sukses. Es menggunung lambat laun mencair. Airnya mengalir terus sampai rebah di tempat terendah.

Rini sangat kecewa melihat suaminya. Suaminya menyembunyikan aliran pinjaman mereka. Namun, sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Bau busuk itu tercium juga. Ternyata, lima puluh persen dari pinjaman dipakai oleh adiknya, Roy. Rini mencium bau busuk itu, ketika ada pesan singkat Roy dari Jambi di handphone suaminya. Sebenarnya, batin Rini tidak membenarkan dirinya untuk membuka handphone suaminya pada saat mandi. Tapi, entah mengapa, seakan ada yang menggerakkan hatinya untuk membuka pesan singkat dari adik iparnya.

Jarum jam pun terus berputar dengan normalnya. Bateraynya masih kuat. Namun, terasa sangat lambat bagi Rini. Ingin rasanya jam itu memacu geraknya. Lebih cepat lagi.

Di kamar sebelah, Hendrik juga tampak tak bisa memejamkan matanya. Ia tak henti-hentinya membolak-balikkan tubuhnya di atas pembaringan. Tak jarang ia berdiri dan meneguk air putih. Puntungan rokok sudah banyak berserakan di lantai kamarnya. Sesekali ia memeras kepalanya. Dadanya naik, turun, tertahan sejenak, dan melepas nafas. Hingga, ayam berkokok garing, dan sampai pada matahari berdiri angkuh.

***

Sepulang dari usahanya, Hendrik sangat terkejut. Dengan resah, ia menelusuri ruangan rumahnya. Suaranya tinggi membentur lantai, dinding, dan langit-langit. Ia memanggil-manggil anak dan istrinya Tapi, tak ada suara sahutan. Hanya gema suaranya yang memantul. Bola matanya pun menggelinding. Ia tak melihat putrinya. Lemari pakaian istrinya telah kosong melompong. Dan tak ada sepucuk surat berpesan. Hanya surat bank itu yang masih tergeletak di meja rias Rini. Dengan resah Hendrik terlihat menghusap wajahnya dengan  sapu tangannya. Ia pun duduk di tepi tempat tidur. Desahan nafasnya terdengar panjang, berat dan tertahan. Sesak sekali rasanya.

Lalu, ia menghubungi handphone istrinya. Sekali, dua, kali, dan tiga kali, tidak ada sahutan. Hanya ada jawaban dari operator : “Di luar jangkauan.”

Dengan marah, ia berteriak histeris. Tangannya terkepal dan menghantam cermin.

“Bangsat !”

Prang….! Kaca cermin pecah. Butiran-butiran cermin berhamburan di lantai kamar. Berserakan. Sekejap, darah segar pun muncrat dari tangannya. Bercucuran. Dan membeku di lantai bersama beling.

Foto tersenyum Rini yang tergantung di dinding kamar, seolah memandangnya. Senyum manis bibir Rini pada  foto itu, ia rasakan mencibirinya. Mata indah Rini pada foto itu, seakan mengucapkan selamat tinggal. Dan ilusinya, serasa tangan Rini melambai-lambai seperti layang-layang putus benangnya. Ia ingin meraih foto Rini. Ia ingin membakarnya di atas api pembakar mayat. Tapi, tiba-tiba matanya berkunag-kunang. Gelap. Hitam menggurita. Ia pun roboh. Tubuhnya menimpa pecahan cermin.

***

Setelah satu jam, dokter keluar dari tirai ruangan unit gawat darurat. Roy pun segera menghampirinya. Ia resah gelisah melihat kondisi abangnya. Dari tadi ia tak sabar menunggu hasil pemeriksaan dokter.

“Bagaimana dengan kondisi abang saya, dokter ?”

“Ia hanya mengalami stroke ringan.”

Mendengar penjelasan dokter, Roy tertunduk. Lesu.

Ia menarik rokoknya. Asap rokoknya menelusuri tenggorokan sampai ke perutnya dan dihembuskannya kembali ke udara. Angin tampak menyapu asap rokoknya dengan kencang yang berhembus dari Timur. Angin pun yang berlari kencang terdengar berisik menendang-nendang dedaunan dan menyapu sampah-sampah di halaman rumah sakit itu. Roy menutup telinganya.

Lalu, Roy mengirim pesan singkat kepada kakak iparnya yang ia tak tahu di mana rimbanya. Ia mengkhabarkan Hendrik terbaring di rumah sakit. Ia pun melangkahkan kakinya menuju ke bank tempat Hendrik berhutang. Ia ingin mengalihkan kredit abangnya menjadi atas namanya dengan anggunan bengkel mobilnya yang telah menjadi miliknya.

Membaca pesan singkat dari adik iparnya, tak terbendung air merayap dari muara matanya. Menelusuri pipinya. Tanah pun berlubang oleh air hujan. Batu pun terkikis oleh belaian air sungai yang mengalir. Ia menegakkan kakinya melewati tanah-tanah berkubang. Anak gembala berseruling menghantar pulang.

Medan, 2011

INGIN AYAH

Sampai di rumah, wajah Andreas tampak berbinar. Tak sabar melepas bangga, ia melemparkan  sepatu dan tas sekolahnya dengan tidak pandang memandang. Ia pun melontar kata bagai anak panah melepas dari busur, memanggil ibunya. Suaranya menggema sampai membentur dinding-dinding rumah, hingga kucing pun melompat terkejut.

“Ibu… Ibu…”

“Iya…, ibu di sini.” Sahut ibunya.

Dengan riang sekali, Andreas menghampiri ibunya di dapur. Ia pun menunjukkan ikan dalam kantongan plastik. Bibirnya dilengkungkan. Ibunya membalas senyuman Andreas. Namun, dari keningnya ia tampak heran melihat Andreas membawa ikan sebanyak itu.

“Ooow, banyak sekali. Kamu dapat dari mana, Nak ?” kata ibunya sambil meraih kantongan plastik hitam dari Andreas. Lalu, ibunya menuangkan ikan-ikan bersama airnya dari kantongan plastik hitam ke dalam ember. Ikan-ikan itu pun tampak berenang berhimpit.

“Tadi ayahnya Riyanto, teman sekolahku, mengajak kami ke kolam pancing. Saya hanya dapat seekor, Bu. Tapi, ayahnya Riyanto baik sekali. Ia memberikanku ikan Mas ini sampai lima kilo,” kata Andreas dengan semangat. Ibunya hanya mengangguk.

“Masak yang enak ya, Bu,” kata Andreas lagi.

“Oke. Oh ya, Andreas. Sekali lagi kalau lama pulang, beritahu ibu. Kan bisa di kirim pesan singkat ke nomor handphone ibu.”

“Maaf, Bu. Saya lupa,” sahut Andreas sambil nyengir.

Andreas pun melepas bajunya dan melangkahkan kakinya meninggalkan dapur menuju ke kamar mandi. Dan ibunya tampak merapikan ember tempat ikan-ikan, agar tidak dimakan kucing.

Setelah selesai berkemas, Andreas permisi pada ibunya. Seperti setiap sore hari, ia bermain bersama teman-temanya di warung internet yang  tak jauh dari rumahnya. Anak-anak sekarang lebih suka bermain internet dari pada petak umpet atau patuk lele. Game online adalah permainan canggih dan dapat bermain dengan siapa saja, serta di mana pun mereka berada, kata anak-anak sekarang ini.

Di warung internet itu, sudah banyak anak-anak bermain game dan membuka facebook. Andreas tampak lebih suka bermain game pertempuran. Memburu, diburu, menembak, ditembak, membunuh atau dibunuh. Permainan yang banyak diminati anak lelaki. Suasana dalam warung internet itu, hiruk pikuk melebih pasar ikan. Ada yang berteriak-teriak seperti tersesat di hutan, karena tertembak oleh musuhnya. Ada yang melempar makian, karena telah berhasil membunuh musuhnya. Suara cekikikan pun terlontar, karena musuhnya lari terbirit-birit. Di antara mereka, ada yang berselancar dengan facebook. Bibirnya  pun tampak tersenyum-senyum memandangi monitornya. Sesekali ia menggaruk-garuk kepalanya. Lalu menggerakkan jemarinya, mengetik, mengetuk keybord.

Pukul sepuluh, Andreas menghentikan game online-nya. Perutnya yang mulai terasa melilit, membujuknya pulang. Setelah membayar sewa internet di kasir, ia melangkahkan kakinya meninggalkan warung internet menuju ke rumahnya.

Sampai di rumah, dengan berlari kecil ia mendekati meja makan. Ia membuka tudung saji. Nasi dan sayur di taruhnya di piring. Sejenak ia tertekun. Bola matanya berputar-putar, mencari ikan. Tapi, tidak ada. “Di mana, ya ? Mungkin ibu belum memasaknya ?” kata Andreas dalam hati.

Bersama angin perlahan berhembus menembus dinding-dinding rumahnya, tiba-tiba hidungnya mencium bau ikan di bakar. Ah, mungkin ibu masih membakarnya di halaman belakang rumah, pikir Andreas. Ia menuju ke halaman belakang rumah. Alangkah terkejutnya ia. Andreas melihat ibunya sedang duduk berdua dengan seorang lelaki sambil membakar ikan. Perlahan-lahan kakinya mendekati mereka.

Mendengar langkah Andreas, ibunya membalikkan wajah. “Oh, sudah pulang kamu, Andreas  ?” kata ibunya. Andreas tak menjawab.

“Ini Andreas ?” sambung lelaki itu sambil beranjak dari duduknya dan mengulurkan tangannya.

Andreas tak membalas salaman tangan itu. Ia berbalik dan meninggalkan mereka. Perasaan Andreas sengkarut. Dan, seolah petir menyambar-nyambar. Hatinya bergemuruh. Ia marah. Ia tak menduga ibunya berpacaran.

“Andreas…!” panggil ibunya.

Sampai di pintu depan rumah, ibunya berhasil menghentikan langkah kaki Andreas. Ibunya mendekapnya. Dan rambutnya dibelai ibunya.

“Maafkan ibu, Nak. Selama ini ibu tidak cerita padamu.”

“Cerita apa, Bu. Cerita ibu punya pacar ?”

“Andreas, tidak baik berbicara seperti itu kepada ibu.”

“Tapi, apakah ibu baik berpacaran dengan lelaki itu ?” kata Andreas sambil melepaskan genggaman tangan ibunya.

Ia pun melangkahkan kakinya meninggalkan ibunya. Ia menelusuri jalan-jalan dengan cahaya berkunang-kunang. Kadang kakinya membentur bongkahan batu. Suara-suara jangkrik, seolah ingin menghentikan kakinya.

“Andreas…! Kamu belum makan. Makan dulu, Nak,” kata ibunya. Andreas tak mendengar panggilan ibunya. Sampai ibunya tak melihatnya lagi di tikungan jalan itu.

Ia pergi ke kolam ayahnya yang kurang lebih lima ratus meter dari rumahnya. Kolam itu tampak tak terurus lagi. Sejak ayahnya meninggal empat tahun lalu, karena sakit, ibunya tak mau melanjutkan usaha kolam pancing mereka. Ibunya merasa lebih baik membuka grosir bahan-bahanmakanan pokok di depan rumahnya. Sangat disayangkan, kolam pancing itu dulu sangat maju.

Di pinggiran kolam itu, berdiri gubuk-gubuk tak berdinding. Tiang dan atapnya tampak mulai rapuh. Tapi, masih kuat untuk diduduki. Andreas duduk di salah satunya. Tatapan matanya kosong. Lamunannya merayap bersama angin malam yang mulai merasuk persendian dan terasa dingin.

Masa semi bersama ayahnya melintas. Saat-saat liburan sekolah, ayahnya sering mengajaknya ke Tongging untuk memancing. Dengan sepeda motor ayahnya, mereka menempuh jalan-jalan berbelok, mendaki dan menurun. Perjalanan dari tempatnya menuju ke Tongging kurang lebih memakan waktu selama tiga jam.  Sampai di Tongging mereka langsung mendirikan tenda, karena  semalaman di sana. Di pinggiran Danau Toba itu banyak orang memancing, membakar ikan dan kawula muda tampak asyik bermain gitar.  Ia sangat menikmati tamasya ini.

Andreas pun tertular dengan kegemaran ayahnya, memancing. Koleksi pancing ayahnya yang dirawatnya, selalu dipakainya untuk memancing di kolam-kolam kecil atau di pinggiran sungai. Sehingga, ia jarang terlihat bermain bersama teman-temannya pada hari Minggu. Kecanduan memancing seperti ayahnya, tak jarang membuat ibunya jengkel.

Saat mendirikan kolam pancing ayahnya, lima tahun lalu, melintas juga di benaknya. Tak jarang tukang-tukang yang membangun kolam pancing ayahnya merasa terganggu oleh Andreas. Ia sering mengajak mereka untuk mengobrol. Bertanya ini, itu, tentang pertukangan yang bertubi-tubi membuat pekerjaan mereka tak jarang terhenti. Namun, tukang-tukang itu tak mau melukai hati Andreas. Dengan sabar mereka menjawabnya.

Pada saat ibunya mengantarkan minuman dan kue-kue adalah yang paling disenangi Andreas. Ia selalu jahil mengambil kue yang disukainya. Sehingga, ibunya terpaksa kembali membeli kue ke warung. Kue naga sari dan ondol-ondol adalah yang paling disukainya. Ayah dan ibunya hanya geleng-geleng kepala melihat kenakalan Andreas.

Ayahnya juga tak jarang membawa Andreas dan ibunya ke kota yang jaraknya dua puluh lima kilometer dari tempat mereka. Plaza adalah favorit Andreas. Di sana, ia bermain game koin dan mobil-mobilan. Makanan siap saji, tak lepas dari kunjungan mereka. Andreas selalu merengek pada ayahnya untuk makan di sana.

Mata Andreas mulai tampak berkaca-kaca. Air matanya mulai menuruni kedua pipinya. Merangkak pelan seperti butiran embun pagi, jatuh membasahi dadanya. Wajahnya pun disembunyikan di kedua lengannya atas lutut yang merapat ke dada. Punggungnya membungkuk seperti jabang bayi di dalam kandungan ibunya. Ia tak kuat ditinggalkan Chandra, ayahnya.

Hembusan angin malam yang meliuk-liuk serasa membelai rambutnya. Nyanyian jangkrik bersahutan dan siulan bass burung hantu di ranting pohon, membuat kelopak matanya perlahan-lahan merapat. Ia pun tertidur. Alam meninabobokkannya. Dan memberinya mimpi-mimpi.

Rembulan yang melayang-layang di langit dengan wajah purnama, meremang di tempat itu. Purnama tersenyum menatap Andreas yang terlelap melepas letih di gubuk tak berdinding. Bintang-bintang berbinar mengapit rembulan, melepas rona kecerahan. Menambah indah lengkung langit malam. Bintang-bintang itu ingin mendekati Andreas dan menyelimutinya. Tapi, ia tak ingin Andreas terbangun yang baru saja terbaring di lantai papan menggantung pada tiang-tiang gubuk tak berdinding.

Perlahan-lahan ibunya dan lelaki itu mendekati Andreas. Ibunya sudah tahu kemana perginya Andreas, kalau sedang marah. Setiap kali hatinya terluka, ia pasti ke kolam pancing bapaknya yang sudah lama tidak dipakai. Di sana, Andreas merasa batinnya dekat sekali dengan bapaknya. Ibunya pun merasa sedih dengan ketidak relaan Andreas melepas bapaknya.

Sampai di sisi Andreas, mereka merasa tak tega melihat tubuh Andreas yang berbercak-bercak merah bekas gigitan nyamuk. Embun pagi yang dingin pun melekat di tubuhnya. Dengan lembut ibunya membelai rambut Andreas. Ia selimuti Andreas dengan selendang yang melingkar di lehernya.

Ezra, mantan pacar ibunya, mencari ranting-ranting kering dan mengumpulkannya. Ia bakar ranting-ranting untuk mengusir nyamuk-nyamuk. Sekejap, terang pun menyala. Nyamuk-nyamuk tampak meninggalkan mereka.

“Biarlah kami di sini, Bang. Malam sudah mulai larut. Nanti ayah mencarimu” kata Rohayati, ibu Andreas, kepada Ezra.

“Kalian tidak takut di sini ? Atau kita bawa Andreas pulang ?” kata Ezra sambil menghisap rokoknya.

“Enggak, Bang. Kami sudah terbiasa di sini.”

“Baiklah. Tapi, sebelum besok sore kembali ke Jakarta, saya ingin kita bertemu,” kata Ezra lagi. Rohayati mengangguk.

Ezra pun melangkahkan kakinya meninggalkan mereka. Langkahnya menembus malam yang meremang purnama. Tanah-tanah lembab ia jejaki menuju ke rumah ayahnya. Sebelum hilang di kegelapan malam, tampak ia menoleh ke belakang. Rohayati pun melayangkan senyumnya.

Rohayati tak henti memandangi tubuh tinggi atletis itu. Punggung kekar lelaki itu, semasa Sekolah Menengah Atas, tempatnya bersandar mencari inspirasi. Bercerita, mengisahkan indahnya kata cinta sambil menikmati alam di bawah langit malam yang melengkung. Sepoi angin pun turut menyejukkan rekatan punggung dua insan dalam kasmaran.

Namun, impian janji kasih tak terpisahkan dicuri perempuan pilihan orang tua Ezra. Setelah Ezra mendapatkan pekerjaan di Jakarta, ia dipaksa menikah dengan perempuan yang tidak dicintainya. Atas desakan seluruh familinya, ia mengarungi bahtera keluarganya yang terombang-ambing sampai bercerai. Dalam pernikahannya itu, ia tak membuahkan anak.

Tiba-tiba kokokan ayam yang dibawa angin menembus gendang telinga, membuyarkan lamunannya. Ia tersadar, alam pikirannya telah membawanya ke masa lalu. Mencuri hatinya. Membuatnya gundah. Cinta pun kembali subur untuk mencintai Ezra. Lelaki yang pernah mencintainya. Dan kembali datang pada saat kekosongan hatinya, untuk mengingatkan cinta kemarin.

Ia pun menatap Andreas yang tertidur letih dan marah pada takdir. Batinnya berbisik pada anaknya untuk mengerti pada cintanya yang ingin menggapai mimpi. Mimpi yang pernah hilang.  Sekarang, ia tak ingin mimpi itu terhalang, melayang dan hilang sampai senja menepi malam.  Kolam pancing yang telah lama tak disentuh, terlantar, seolah mendengar hati Rohayati yang berkecamuk dan melihat raut wajah Andreas yang rindu akan ayahnya.

***

Sampai di kantin Bandara Soekarno Hatta, ia membuka handphonenya untuk mengabarkan, bahwa ia telah sampai di Jakarta pada Rohayati. Tiba-tiba matanya tajam menyorot, membaca pesan singkat dari nomor yang tak pernah merekat di address handphonenya.

Pak Ezra, saya ingin mengajakmu memancing di pinggiran Danau Toba, Tongging. Kapan ada waktu bapak ? Dari Andreas.

Membaca pesan singkat dari Andreas, ia tersenyum. Sempat hatinya kecut, dengan pekerjaannya di ibukota negara. Lalu, ia pun membalas pesan singkat itu. Minggu depan ya, Andreas. Saya akan hadiahkan pancing yang terbaik untuk kamu, balas Ezra. Ia kembali melangkahkan kakinya menuju mobil jemputannya. Sepanjang jalan menelusuri jalan Jakarta, bayangan Andreas yang nakal menggelitik hatinya. Wajah Andreas mirip ibunya.

Medan, 18 Agustus 2011

Previous Older Entries